The place promised...
Minggu, 06 Mei 2012
Semalam ketika bulan terlewat [short story]
Sabtu, 24 Maret 2012
OH GOD WHY.
Kamis, 22 Maret 2012
Goodbye March
...dan ketika aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Seakan berkata tanpa suara, bibirnya membuka, melontarkan kata-kata diam yang bermain-main di telingaku. Aku bisa membaca, aku bisa menerka. Bibirnya meski tanpa suara, aku meringis, saat mengetahui arti gerak geriknya.
“Aku benci padamu.” Ucap sang Angsa cantik, tatapannya lirih, sedih.
“Tapi kenapa?” aku menyahut pelan. Seakan tahu apa jawabannya, kepalan tanganku semakin kuat. “Kenapa?”
Aku memang kodok jelek, derajat memaksaku turun ke bawah, menatapi keindahan sang angsa dari sana. Indah, tiap kepakan sayapnya menyentuh pikiran, membuat tiap tetes air mata ini berharga. Hingga kubisikkan pada kalbuku, “Jika tiap tetes ini adalah cintaku padamu, maka akan kudirikan gunung dengannya.”
Sang angsa mulai berkata-kata. Lagi-lagi, bibirnya berucap tanpa celah untuk notasi suara keluar dari kerongkongannya. Pandangannya, sekali lagi, pilu. Memperhatikan tiap gerak-gerikku yang kaku, mengharapkan sesuatu yang sudah tidak mungkin.
Lalu kubaca sekali lagi gerakan bibirnya...
“Aku benci padamu.”
Kata-kata yang sama.
Jantungku sesak.
.........
Dika sang penulis terbangun dari tidur lelapnya, matanya sayu. Pandangannya agak kabur untuk sejenak, menyesuaikan dengan cahaya pagi yang merembes dari sisi-sisi ruangan. Ia kemudian mengangkat kepalanya, dan memperhatikan sekeliling. Oh, iya. Benar juga. Ia lupa kalau dari kemarin ia berada di perpustakaan, mencoba menulis sebuah karya tulis. Ia melirik ke kejauhan, kosong. Terlihat susunan rak buku raksasa di horizon hingga di depannya, lalu lampu-lampu hias tergantung rapi di langit-langit, membentuk busur. Cahaya matahari pagi merembes dari sekat-sekat jendela, membasahi wajahnya yang masih mengantuk. Lalu ia menggerakkan tangannya dan menyenggol sebuah pena yang terjatuh bersamaan dengan kertas-kertas yang tersusun di bawahnya. Ia kelabakan, kemudian berlutut dan memunguti kertas-kertas itu satu per satu. Halaman per halaman.
“Kodok jelek yang menangis.”
Bisiknya, sembari memperhatikan judul naskah yang ia tulis. Font nya agak kabur, mungkin tintanya sedikit tergores waktu mengeprint. Tapi siapa yang peduli.
Kodok Jelek yang Menangis
Karya Dika Surahman, November 2012
Dika tersenyum sejenak, kemudian menggeleng sambil tertawa kecil.
“Menyedihkan.” Gumamnya.
.........
Di depan perpustakaan, seorang wanita paruh baya turun dari dalam mobil timornya yang lusuh, mengambil mantel kain dari bangku belakang mobilnya, lalu berjalan tergopoh-gopoh ke depan pintu perpustakaan. Ia merogoh kantongnya dan membuka pintu depan dengan tergopoh-gopoh pula.
“Dasar menyusahkan saja, orang macam apa yang terkunci di dalam perpustakaan semalaman gara-gara ketiduran?” gerutunya.
Setelah beberapa kali mencoba dari berbagai kunci yang bergantungan di gantungan pintunya, ia berhasil membukanya. Dari dalam perpustakaan langsung meluncur keluar Dika, sambil memegang erat naskahnya. Dan begitu ia menjejakkan kaki diluar, ia kehilangan keseimbangan, dan jatuh terjerembab ke tanah.
“Whoa!”
Naskahnya sekali lagi, bertebaran di tanah. Wanita paruh baya tadi mendecak sambil berkacak pinggang dan mengelus rambutnya yang masih basah.
“Aku tidak tahu apa harus kasihan atau apa padamu, tapi perhatikanlah langkahmu sesekali.” Ujarnya. “aku sampai harus bergegas dari rumah untuk mengeluarkanmu dari sini. Lihat, rambutku masih basah.” ujarnya sambil memperlihatkan pada Dika rambutnya yang belum dikeringkan.
“Iya, Bu Tantri. Saya akan hati-hati untuk nantinya.” Balas Dika.
Bu Tantri adalah seorang kurator museum yang merangkap staf tinggi perpustakaan kota. Dan kebetulan juga adalah sahabat lama ibu Dika yang telah meninggal. Perawakannya agak besar, dengan rambut ikal yang diikat dan topi bulunya yang mencolok. Gabungan baju ham dan daster kesukaannya yang tidak kalah mencolok sering diam-diam menjadi bahan olokan, meskipun wibawanya tidak diragukan.
Dan Dika masih saja merapikan naskahnya yang tersebar-sebar di tanah. Bu Tantri menggeleng-geleng.
“Semenjak ibumu meninggal, kau jadi semakin terobsesi begini dengan cerpen. Apa kata ibumu jika beliau melihat keadaanmu sekarang ini?” ujarnya.
Sembari merapikan naskahnya, Dika hanya menghela nafas.
“Aku menyayanginya. Dia pasti mengerti, kok.”
“Dan beliau menyayangimu, jangan lupa...”
Dika bangkit berdiri setelah berhasil mengumpulkan kertas naskahnya yang tercerai berai, dan kemudian berbalik menghadap bu Tantri, kemudian tersenyum.
“Ibu pernah berkata padaku, seluruh hidup itu impian. Makanya tidak ada hidup yang bermakna pada awalnya. Karena makna harus dicari hingga bisa digenggam erat di kemudian hari.” Ujarnya pelan. Bu Tantri membalas senyumannya dengan senyuman maklum.
“Yah, mau bagaimana lagi, anak Mila tetap anak Mila...”
“Aku permisi dulu, ya bu Tantri.” Potong Dika dengan senyumnya. Bu Tantri hanya bisa membalasnya dengan senyuman balik, seperti tadi dan pandangan berharap. Berharap tidak ada yang akan terjadi pada anak ini. Anak sahabatnya yang ia sayangi.
“—Taksi!” panggil Dika, mengangkat tangannya dan melemparkan jempolnya ke taksi yang akan lewat. Taksi itu berhenti dan ia masuk ke dalamnya. “Ke Tri-voice publishing, pak.” Tegasnya. Sang supir mengangguk, kemudian menginjak gasnya dan taksi pun melaju meninggalkan perpustakaan. Di perjalanan, Dika mengecek naskahnya dengan teliti. Bahaya ‘kan, kalau ada satu saja halaman yang tertinggal. Mungkin enak kalau tinggal mengeprint ulang halaman yang hilang. Tapi di saat-saat seperti ini, hal itu susah dilakukan.
“Waduh, mudah-mudahan pak editor nggak marah, ya...” gumamnya sambil tetap mengecek halaman-halamannya.
Sambil waktu berlalu, supir taksi menyetel lagu lama. Melodinya berdendang di telinga Dika, membuatnya rileks sedikit. Ia menghembuskan nafas pendek, lalu tersenyum ke arah supirnya. Supir taksi itupun tersenyum, seakan membalas senyuman Dika tadi yang mungkin berartikan terimakasih atas musiknya yang menenangkan. Dan memang, musiknya menenangkan. Meskipun liriknya pedih.
I don’t want to set the world on fire
I just want to start a flame in your heart
In my heart I have but one desire
And that one is you, no other will do
.........
Suasana kantor yang kurang menyenangkan. Dika duduk di sofa ruang tunggu, sambil sesekali melirik jam, memikirkan kenapa orang yang ditunggunya belum datang juga. Ia memandang sekeliling, diciumnya aroma pengharum ruangan. AC-nya mati, membuat bau pengharum ruangannya sesak, membuatnya mual. Lalu ia menarik nafas panjang, dan memperhatikan naskahnya yang ia taruh di meja kaca di depannya.
“Alasannya harus diterima, ya...kali ini juga.” Gumamnya pelan. Ia tersenyum sedikit. Lalu ia mengangkat kepalanya dan menatap langit-langit ruang tunggu, rasanya sedikit lega. Ruangan yang tadinya pengap tidak lagi sesak. Ia mengangkat tangannya ke atas, merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu menurunkan tangannya lagi dan membiarkan tubuhnya rileks.
“Yo!” Tiba-tiba seorang pria muncul dari balik pintu di kejauhan. Pria itu mengenakan kemeja kedodoran, perawakannya jangkung, rambutnya lurus tidak disisir, dan menghisap rokok di sela-sela bibirnya. Ia memakai kacamata hitam pekat, sehingga kesan maskulin terlihat menempel jelas pada sosoknya. Ia berjalan perlahan sambil menghisap rokoknya, membuang abunya ke lantai, dan kemudian menghampiri Dika.
“Siang, pak Danu.” Ujar Dika memberi salam. Pak Danu, editornya di kantor penerbitan, tersenyum hangat di tengah sosok maskulinnya.
“Gimana naskahnya, udah fix?”
“Anu...saya mau bicarakan soal fixing naskahnya...itu...bisa ditunda beberapa hari lagi? Saya masih belum dapat ide buat penutupnya...”
Pak Danu menghela nafas. “Sampai kapan kamu mau nahan endingnya? Menurut saya ending bahagia itu cukup ngena, kok.”
“Justru itu, pak...” balas Dika lemah. Pak Danu kemudian duduk dan menyilangkan jemarinya dan ia taruh di bawah dagunya, mendengarkan penjelasan Dika. “...Saya nggak bisa memberikan ending yang terlalu abstrak buat saya...”
“Ending yang abstrak? Bukannya ending bahagia itu...”
“Saya tahu, ending yang bahagia yang kebanyakan disukai orang...tapi...”
“Tapi?”
“Ending yang membohongi diri saya sendiri seperti itu...saya nggak bisa menerimanya...sedikitpun.”
“....”
Pak Danu terdiam sejenak. Matanya menjelajahi setiap ekspresi Dika yang terlihat jelas bersungguh-sungguh. Ia kemudian menghisap rokoknya dan memandang ke arah naskah Dika yang terpampang di depannya.
Kodok Jelek yang Menangis
Karya Dika Surahman, November 2012
Ia terlihat ragu. Namun ketika ia balik menatap ke arah Dika, keraguannya hilang. Dilihatnya kesungguhan di mata anak ini, membuat darahnya tenang. Ia tersenyum.
“Dunia imajinasi itu luas, Dik.” Katanya sambil menghisap rokoknya dan tersenyum. “Saya nggak mau kalau kamu cuma melihat satu sisi saja.”
Dika tersenyum.
“Temui saya kalau kamu sudah menemukan ending yang kamu inginkan.” Ia lalu berdiri dan berniat berjalan kembali ke kantornya. Namun sebelum ia mulai melangkah, ia menoleh ke arah Dika, sambil menghisap rokoknya. “Endingmu tentu nggak akan seindah ending-ending yang orang inginkan, tapi saya yakin kalau kamu yang memutuskan, itu adalah ending terbaik yang ada.”
Dika mengangguk. Senyumnya melebar. “Terimakasih pak!”
.........
Dika melangkah keluar kantor dengan riang. Motivasinya bertambah. Ia yakin akan dapat menemukan ending yang tepat kali ini, ending yang ia inginkan. Ia berhenti sejenak, pandangannya kosong ke depan. Memandangi jalan raya dan mobil dan motor yang berlalu-lalang berkali-kali, membuat pusing. Tapi tidak baginya. Dengan senyum lebarnya, ia menghela nafas dan memandang langit.
“Apa akhirnya sang kodok bisa berhenti menangis, ya?”
Lalu tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang gadis di kejauhan, gadis itu menenteng motornya yang kelihatannya mogok. Sosok gadis itu dia kenal. Sosok lama yang masih tertanam di benaknya.
“Ah, si angsa cantik.” Ujarnya. Ia kemudian berlari menyusuri trotoar, menyeberang jalan, lalu menghampiri gadis itu. “—Hai.” Sapanya. Gadis itu menoleh, dan terperangah.
“Dika?”
“Lama nggak jumpa, ya...Maret.”
.........
Suara kantung plastik yang berisikan naskah Dika yang tergantung di cantolan motor matic milik Maret berbunyi grasak setiap ban motornya yang bocor berguncang akibat jalan aspal yang tidak rata. Sudah beberapa menit sejak Dika menawarkan diri untuk membantu membawakan motornya ke bengkel terdekat.
“Dari mana nyeretnya?” Dika memulai percakapan.
“Dari toko di ujung sana tuh...bocornya disana.” Maret menunjuk ke kejauhan, terlihat toko bertingkat dua, sekitar dua ratus meter di sana.
“oh— Lumayan jauh juga, ya...” Dika menaikkan alisnya. Maret tersenyum.
“Dari mana?” Tanya Maret penasaran.
“Dari penerbit.”
“Ngapain?”
“Bicarain soal buku...”
“Kamu mau nerbitin buku?”
“Iya...haha. keren, ya?”
Maret tertawa kecil. “Nggak nyangka, kamu bisa nerbitin buku.”
“Bisa, dong...” Dika mengrenyutkan dahinya. “Yang namanya manusia kan banyak bakat.” Ia kemudian sedikit kehilangan keseimbangan, lalu kembali ke jalur. Ban motornya semakin kempes.
“Sudah lama, nih...” Maret memandangi Dika sambil tersenyum. “Kamu baik-baik aja?”
“Kalau maksud kamu apa aku sehat-sehat aja...yap, masih sehat dan kuat.”
Maret kembali tertawa kecil. Ia menyembunyikan tawanya dengan menaruh kepalan tangannya di depan mulutnya, sesuatu yang sudah lama tidak dilihat Dika. Dika tersenyum. Sedikit kenangan terbesit di keningnya. Namun kenangan itu membuat senyumnya pudar. Ada sedikit keraguan untuk tersenyum dari hatinya. Dan entah kenapa, hal itu membuat suasana hatinya agak...tertusuk.
“Kamu nggak berubah, ya...” Maret kembali berkata. “Berapa lama, ya...sejak terakhir kali kita jalan bareng kayak gini.”
“Maksud kamu sudah berapa lama sejak terakhir kali kita ngobrol bareng?” Dika sedikit memandangi Maret dan tertawa kecil. Maret juga ikut tertawa sedikit, kembali menutupi senyum indahnya dengan kepalan tangannya. Dan sekali lagi, senyum Dika pun memudar.
Kemudian setelah itu, keduanya terhenyak. Suasana menjadi hening, hanya suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan, sedikit meredakan kakunya suasana.
“Kamu tahu nggak...” tiba-tiba Maret berkata. “Kenangan pahit itu kalau dikumpulkan banyak-banyak bisa jadi kenangan manis, lho...”
Dika menatap Maret yang memandang ke depan, kosong. Lalu ia menundukkan kepalanya, serasa ragu menjawab. Dahinya mengerut. Mencoba melakukan apa yang Maret bilang, mengumpulkan kenangan pahitnya dulu. Lalu kemudian kerutan itu hilang.
“Mungkin juga...” balasnya ringan. “...Tapi kalau rela itu masalah lain.”
Hening.
“....”
Beberapa saat beranjak, mereka berdua sampai ke sebuah bengkel. Dika menggiring motor Maret ke dalam dan kemudian keluar, mendapati Maret menunggunya di pintu luar.
“Dika, aku...” Maret terlihat ragu. “Aku...”
“Jangan dilanjutin.” Dika memotong. “Nggak apa-apa kok.” Maret terlihat parau. “Aku yang salah, kok...dari awalnya, memang aku yang salah...”
“Tapi Dik...”
“Maret...” potong Dika sekali lagi. “Aku yang salah.” Dika tersenyum sehabisnya, menatap dalam ke mata Maret. Maret terlihat ragu, lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia terlihat sedih. Entah apa yang ingin dikatakannya. Dan entah Dika sudah tahu atau tidak mau tahu.
Dika kemudian mengangkat plastik berisikan naskahnya ke depan, dan memperlihatkannya ke Maret.
“Ini cerita kita. Semua yang kita alami selama ini, ada disini.” Ujarnya. Maret memandangi naskahnya dengan tatapan ragu. “Aku belum tahu endingnya apa. Dan aku tahu aku nggak berhak memutuskan seenaknya akhir dari cerita ini. Karena ini cerita kita. Kalau kamu mau...”
“Aku nggak tahu, Dik...” potong Maret. “...Aku nggak tahu sama sekali endingnya harus gimana...”
Raut wajah Dika berubah menyedihkan. Ia tahu bahwa tidak semudah itu meminta Maret untuk menentukan akhirnya bersama-sama dengannya, namun ini yang terakhir.
“Ini...” balas Dika. “Ini yang terakhir...” ia maju beberapa langkah ke depan Maret, Maret juga mulai berani menatap kembali Dika. “Ini yang terakhir.”
“Setelah semua yang kita lalui?”
“Iya.”
Bola mata Maret mulai berkaca-kaca. Ia menarik nafas panjang dan tangannya menggenggam keras. Perlahan-lahan, mulutnya membuka, namun tidak ada suara yang keluar. Ia menghadapkan wajahnya tepat ke pandangan Dika, dan berkata tanpa suara. Dika mencoba menebak gerakan mulutnya, dan kemudian menghela nafas sedih.
Aku Benci Padamu.
Dika terdiam. Ia lalu tersenyum miris, dan tangannya menggenggam keras.
“Jadi begitu, ya...” gumamnya setelah Maret berhenti berucap. “Ending yang bagus.” Maret menghela nafas.
“Ending yang bagus? Kena...”
“Ending bagus untukmu...apapun itu, Maret...” Dika memotong kata-kata Maret dengan cepat dan bernada agak tinggi. “...Adalah ending terbaik untukku.”
Maret terdiam. Nafasnya mulai tak beraturan. Terlihat ia sudah hampir meledak dalam tangis. Dika berbalik badan.
“Terimakasih untuk selama ini.” Ujarnya. “Aku sayang kamu.” Setelah berucap itu, Dika melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Maret menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan mulai menangis keras. Dika inginnya pura-pura tidak mendengar, ia mulai mempercepat langkahnya, namun suara isak tangis itu semakin terdengar meski semakin jauh. Dengan perasaan kacau, Dika memacu langkahnya.
Semakin cepat...
Semakin cepat...
Berlari...
Berlari!
Berlari!!
“UWAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH!!!!!”
Dika berteriak sekencang-kencangnya sambil berlari, meninggalkan Maret yang menangis tersedu-sedu. Hati keduanya hancur lebur, meninggalkan bekas kenangan yang tersayat di dinding hati. Selamanya. Dika memacu larinya semakin kencang, semakin kencang, sampai ia tak lagi merasakan ototnya bergerak.
Sampai akhirnya ia berhenti berlari, nafasnya terengah-engah, ia menundukkan wajahnya, sembari mengusap matanya, ia kira matanya perih karena debu, namun ia sadar bahwa tidak mungkin debu dapat membuat air matanya mengalir deras seperti ini.
Perih.
.........
I’ve lost all ambition for worldly acclaim
I just want to be the one you love
And with your admission that you feel the same
I'll have reached the goal I'm dreaming of
Believe me
.........
Dan disini Dika, di dalam imajinasinya sendiri, duduk di dalam kelas di kampusnya. Dalam hening jiwanya, ia beragumen tajam. Antara perasaan tidak rela, menghujat diri sendiri, menangis, berdusta dan berteriak, nafasnya lelah miris.
Dipandangnya langit-langit, kipas angin tidak menyala. Mati lampu rupanya, ia sampai tidak sadar. Kelas ini kotor, kertas-kertas berserakan. Kipas angin tersetel pada angka 1 full, jika menyala maka terbanglah kertas-kertas yang berserakan itu. Ia menghela nafas, dan membuka tasnya, lalu mengeluarkan buku catatan warna birunya. Ia membukanya dan membaca isinya dengan seksama. Sesekali ia tertawa kecil, memperhatikan coret-coretannya yang dulu. Coretan orang awam, benaknya. Coretan tentang cinta dan harapan. Coretan orang lugu yang belum merasa dikhianati. Coretan orang yang belum merasa sakit hati. Sekali lagi, ia membuka lembar demi lembar, membaca pelahan-lahan puisi-puisi lamanya dalam hati, satu-persatu. Sesekali ia tertawa, menyadari betapa lugunya ia dulu. Sesekali ia meringis, menyadari bahwa keluguan itu adalah satu-satunya hal yang ia rindukan saat ini.
Saat dimana semuanya tidak perlu menjadi perih.
Saat dimana ia bisa tersenyum tanpa harus berbohong.
Ia kemudian bersenandung kecil, menandungkan lagu miris.
“Hmmm, Hmmmm Hm Hmmm, Hmmm....”
Nada lama.
I don’t want to set the world on fire.
Tiba-tiba listrik menyala, kipas angin yang tadinya mati serentak menyala, mengibaskan angin sejuk ke seluruh ruangan, dimana hanya ada Dika disitu, memandangi jauh-jauh lubuk hatinya.
Kertas-kertas mulai bertebaran tertiup angin, debu-debu sedikit tergeser kesana-kemari. Dika yang tersadar bereaksi lambat. Ia memperhatikan sekelilingnya, lalu menutup matanya. Terasa timpaan angin yang begitu lembut, membawanya agak naik ke permukaan mimpinya.
...andai semuanya mimpi, ya? Pikirnya.
Ia membuka matanya perlahan. Disadarinya semua ini kenyataan.
“Ah, sial.” Gumamnya pelan.
.........
Pak Danu menganggukkan kepalanya perlahan sembari menghisap rokok yang perlahan semakin memendek. Matanya membaca tiap huruf per huruf yang tertera di naskah itu. Sesekali ia mengangguk lagi, menghisap rokoknya, namun matanya tidak pernah lepas dari naskahnya. Tiap kata, tiap kalimat. Di depannya duduk Dika, menyilangkan jari-jarinya, berharap hasil positif. Pak Danu mengangguk untuk kesekian kalinya. Abu rokoknya terjatuh. Namun itu sama sekali tidak ia perhatikan. Sekali ini, dirinya fokus.
Ruangan kantor editorial terasa sepi. Sudah jam 5, dan sejak jam 3 tadi pak Danu terus membaca naskah Dika tanpa henti. Dika pun tanpa bosan menunggunya selesai. Kipas angin besar yang berputar di langit-langit terus berbunyi, padahal bunyinya kecil, tidak bisa ditangkap oleh pendengaran diwaktu bising. Suasana sepi sekali. Sinar matahari sore merembes masuk lewat jendela kantor. Kertas-kertas naskah dan sisa pekerjaan editorial berserakan rapi di atas meja, beserta satu cangkir kosong bekas kopi tadi siang. Sinar matahari sore membuat bayangan benda-benda itu menjadi pekat di dinding. Namun sisi yang diteranginya, berkilau indah.
“Jadi, dengan ini, berarti...” pak Danu memulai pembicaraan setelah kelihatannya selesai membaca dan menaruh naskahnya di meja. “...Kamu sudah temukan endingnya?” kemudian ia menghisap rokok yang sudah pendek. Dihembuskannya asap terakhir, lalu dipandangnya Dika dalam-dalam. “Ending yang kamu inginkan?”
Dika mengangguk. “Ending yang menyakitkan, tapi...terkadang happy ending itu tidak harus membuat karakter utamanya bahagia, kan.”
“Sang kodok meninggalkan Maret sang Angsa cantik dengan sengaja, lalu kembali menangisi dirinya sendiri tiap malam, tanpa March mengetahui tujuan sebenarnya dari tindakan kejam sang kodok...” pak Danu mereview. “Ini ending yang kamu inginkan.”
Dika mengangguk lagi. “Iya...” balasnya. “Ini ending yang terbaik.” Ia meraih ke naskahnya yang agak tersusun berantakan, lalu ia susun baik-baik hingga rapi, dan kemudian menaruhnya lagi ke meja dan menatap dalam-dalam pak Danu. “Karena bagi sang kodok...kebahagiaan sang Angsa adalah kebahagiaannya.”
“Mungkin itu ending yang terbaik,” balas pak Danu. “Sang kodok...berkorban demi masa depan sang Angsa yang tidak mungkin ia dapatkan.”
Dika tersenyum. “Karena kodok mencintai Angsa. Itu saja.”
Pak Danu terdiam. Rokoknya habis. Ia mematikan rokoknya ke asbak, dan kemudian menghela nafas panjang, seakan sudah menghabiskan waktunya untuk mendengarkan cerita sedih yang berharga. Lalu ia berdiri, dan mengambil sekotak rokok dari saku bajunya.
“Kalau begitu, sampai disini saja berarti meeting kita, ya? Ending yang tepat untuk ceritamu.” Ia meregangkan badannya, lalu berniat mengambil rokoknya. Namun ia tertegun. Ia pandang rokoknya, lalu kemudian seakan ragu, ia menutup kotak rokoknya dan tertawa. “Mungkin aku harus berhenti merokok, ya...”
Dika tersenyum membalasnya. “Mungkin juga.”
“Kalau begitu, sampai nanti. Nanti saya kabari soal percetakannya.” Lalu pak Danu berbalik jalan, melangkah pelan ke pintu, dan berhenti sejenak. Ia perhatikan lagi kotak rokoknya, dan tiba-tiba membuangnya ke bak sampah yang ada di sebelah pintu bagian bawah.
“Pak...” panggil Dika ragu.
“Dik...” pak Danu berbicara tanpa menoleh sedikitpun. “Kamu harus bahagia, ya...”
Dika tersenyum lebar. “Mudah-mudahan.”
Lalu suara pintu ditutup menghempaskan keheningan. Pak Danu telah pergi, sekarang hanya Dika yang tertinggal di ruangan itu, menanti senja, sendirian. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian ia lepaskan. Tarik, tiup. Tarik, tiup.
“Selamat tinggal, Maret.”
Suara hujan perlahan mulai berisik, membasahi genteng kantor, membuat keributan di suasananya. Menandakan musim kering sudah selesai. Selamat datang, April.
Semoga di cerita yang baru...senyumku bisa lebih jujur.
.........
...Dan dalam seruling malam, Kodok menangis keras, melemparkan amarahnya ke dalam danau, sekali lagi. Berkaca atas kejelekannya, sekali lagi. Meratap atas ketidak sanggupannya menjadi sempurna bagi sang bangau, sekali lagi.
Ia rela, namun hatinya merengek ke rembulan. Ia menawarkan jiwanya pada angin, menderu berkali-kali dimana-mana, menyeruak ke seluruh danau. Dan pada sesaat, ia bertaruh pada bayang-bayang di otaknya, bahwa meskipun ia tersenyum, hatinya tak rela. Ia menangis sekali lagi, mencoba merelakan, meringankan sakit hatinya yang menusuk jantung,
“Aku akan mencintaimu dalam mimpi.”
-The end