Minggu, 06 Mei 2012

Semalam ketika bulan terlewat [short story]


Hanya berupa karang, katanya. Hatiku sekeras karang, katanya.
            ...meskipun rela, hati ini sakit, katanya.
---
            Jonah duduk di bangku di depan teras mall, menatap langit malam yang mendung. Bintang-bintang bersembunyi jauh di balik awan, bersembunyi dari tatapannya malam ini. Ia mengrenyutkan dahi, lalu meniup kosong ke arah langit.
            “Hari ini bakal cerah, katanya.” Ia menyeru pelan sambil tetap menatap langit. Setitik air mengenai keningnya. Ia berkedip, lalu mengelap tetesan air itu dengan tangan kanannya. Sambil melihat bercak lembab bekas air itu, ia menyipitkan matanya. “Malah mau hujan.” Ujarnya agak kesal.
            Mall pada malam itu terasa sepi. Meskipun banyak orang berlalu lalang, menelepon, bergandengan, bercengkerama, berlarian, namun Jonah merasa kesepian. Diperhatikannya tiap orang yang datang, lalu lalang, berjalan, retinanya mengikuti tiap gerakan, tiap ucapan, mencoba fokus ke sesuatu yang ia tidak tahu apa. Membosankan, memang. Tapi untuk malam ini, apa boleh buat.
            Starbucks di lantai atas masih buka, tapi masih penuh juga. Sisa kopi yang ia beli barusan sekarang sudah habis. Ditatapnya baik-baik gelasnya, ah, masih ada sisa. Diangkatnya gelasnya ke atas, dan diminum habis sisanya sampai tidak bersisa sama sekali.
            “Oke, deh. Sekarang apa.” Ucapnya sambil melempar gelasnya ke bak sampah di sampingnya, tepat sasaran. Ia memperhatikan sekeliling, tidak ada yang spesial. Dirinya sendirian disini, di mall, tanpa ada seorangpun yang mempedulikannya. Heck, siapa yang mau peduli pada laki-laki tidak dikenal, duduk sendirian, menjauh dari kerumunan? Kalau siapapun pakai logika, mana ada yang mau duduk dekat dengannya?
            Lalu matanya tertuju pada sebuah mobil-mobilan yang berjalan di depannya. Maju mundur. Tidak jelas. Jonah menaikkan alis matanya, lalu menatapi mobil itu baik-baik. Mobil itu mengubah arah jalannya, dan kini lurus menghadap Jonah. Dan kemudian berjalan tersendat-sendat ke depan, ke arah Jonah yang kebingungan menatapinya. Apaan nih? Benaknya ringan. Hingga saat mobil-mobilan itu menabrak kecil ke sendalnya, ia menatapinya dengan tenang. Ia meraih mobil-mobilan itu, lalu mengamatinya dengan seksama. Ah, mobil remote control. Roda mobil itu terus berputar meski ia telah mengangkatnya. Berarti ada yang mengendalikan. Ia mengamati sekeliling, mencari siapapun yang sekiranya terlihat memegang sebuah remote control. Namun tidak ia temukan satu orangpun yang seperti itu. Ia kembali melemparkan pandangannya ke arah mobil-mobilan itu dan menaruhnya ke lantai. Mobil itu mulai berjalan mundur, dan pandangan Jonah mengikutinya dengan pelan. Sampai mobil itu berhenti di dekat sepasang kaki mungil yang merapat, Jonah tertegun.
            “Lho?” ucapnya. Ditariknya pandangannya ke atas, melihat siapa pemilik kaki mungil itu. Seorang gadis. Kulitnya putih, rambutnya hitam panjang terurai, jaket kain kebesarannya menutupi sedikit badannya, membuatnya terlihat semakin mungil. Ia menatapi Jonah dengan matanya yang sipit, seperti kenal.
            “...Halo?” Jonah mencoba bercakap. Gadis itu tersenyum. Ia lalu berjalan mendekati Jonah setelah mengambil mobil-mobilannya, dan kemudian menaruhnya di pangkuan Jonah. “I..ini apaan?” Jonah kebingungan. Gadis itu kembali tersenyum, lalu menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan pelan. Suara hembusan nafasnya seperti menghela sehabis berlarian lama.
            “Selamatin aku dong.” Katanya membalas sapaan Jonah. Agak tidak nyambung juga.
            “Selamatin?”
            “Iya.”
            Jonah menaruh mobil-mobilannya di sampingnya. “Selamatin apaan?”
            “Selamatin aku. Tolong aku.”
            Jonah mengerenyutkan dahinya pelan-pelan. Apa maksud gadis ini, meminta tolong diselamatkan seperti itu? Oi oi, ini bukan film horror kan? Gadis ini bukan hantu kan?
            “Maaf, aku nggak nge...”
            Sebelum Jonah selesai berkata-kata, gadis itu mengambil mobil-mobilannya dan menarik tangan Jonah, lalu membawanya lari. Jonah yang tidak mengerti apa-apa tidak melawan. Kakinya seakan melangkah mengikuti lari gadis itu, tanpa paksaan. Mungkin kebosanan ini sudah menjalar ke tubuhnya, sehingga kemanapun angin menarik tangannya, okelah, pikirnya.
            “Namaku Cendana, seorang putri raja.” Gadis itu berkata dalam langkah larinya. “Sekarang lindungi aku, ya!”
            Tentu saja Jonah semakin linglung. Dalam langkahnya yang tergesa-gesa, ia tidak berfikir jernih. Namun otaknya cukup cemerlang untuk berfikir bahwa kata-kata ‘putri raja’ itu berlebihan. Sembari berlari, ia memperhatikan gadis itu. Tingginya hanya sepundaknya. Rambutnya yang panjang dan hitam mengibas-ngibas sembari ia berlari. Langkah mereka berdua terdengar keras menghantam keramik mall ketika mereka berlari di hall, berhenti sejenak dan memperhatikan sekeliling, mencari jalan keluar. Lalu kebingungan.
            “Wah, lewat mana ya?” Cendana terlihat kebingungan. Tangannya masih menggenggam erat Jonah. Jonah tertegun sejenak, lalu menyadari langkah kaki tergesa-gesa dari kejauhan. Dua orang pria tinggi besar, berpakaian hitam dan memakai coat gelap, bertopi bundar mengejar mereka.
            “Dua orang itu kenalan kamu?” Jonah menunjuk ke arah dua orang itu.
            “Walah-dalah! Mereka itu yang ngejar, ayo lari!” Cendana semakin panik. Jonah langsung bergantian menarik tangan Cendana ke kerumunan, menghindari pengejar mereka. Dua pria itu terlihat sadar, lalu semakin mempercepat kejaran mereka. Jonah menarik Cendana menaiki eskalator arah turun, hanya itu jalan yang tersedia di depan. Dengan lambat mereka berlari ke atas melawan arus, sedangkan dua orang pengejar itu tepat di belakang mereka, masih mengejar.
            Jonah dan Cendana masuk ke dalam toko baju, dan bersembunyi di balik pakaian. Mereka mencoba mengatur nafas, meskipun Cendana terlihat lelah dan nafasnya tidak beraturan.
            “Jangan bersuara.” Bisik Jonah.
            Dua orang berpakaian hitam tadi berhenti di depan toko, dan terlihat bingung. Keduanya berdebat, lalu berlari ke arah berlawanan. Beberapa saat kemudian, Jonah dan Cendana keluar berbarengan. Tangan Jonah masih menggenggam erat tangan Cendana. Ketika sadar, keduanya saling melepaskan. Lalu saling menatap, dan canggung sendiri.
            “Makasih. Aku kira mereka bakal nangkap aku.” Cendana menghela nafasnya. Jonah masih terengah-engah, dan menatap Cendana yang bedanya, nafasnya sudah teratur.
            “Mereka siapa? Kamu siapa?” Jonah bertanya dengan tergesa-gesa ditengah nafasnya yang ngos-ngosan. Keringatnya mengalir pelan, sebagian sudah agak kering akibat AC. Mendengar itu, Cendana menyipitkan matanya.
            “Aku ini seorang putri raja.” Jawabnya santai. Jonah tertegun konyol.
            “Putri raja.”
            “iya!”
            Jonah mengurut dahinya, menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Keringatnya sudah berhenti mengalir. “Putri raja.” Ucapnya lagi. Kali ini sambil tersenyum.
            “Kamu...nggak percaya?”
            “Sudah deh, konyol banget.” Jonah berbalik badan, lalu pergi sambil tertawa ringan.  Cendana menghentakkan kakinya, menyipitkan matanya, lalu menggembungkan pipinya dengan kesal. “Jangan bercanda sembarangan.” Jonah berucap dari kejauhan. Cendana melangkah dengan kesal, tiap langkahnya berbunyi tanda ia menghentakkannya dengan cukup keras. Lalu diangkatnya tangannya tinggi-tinggi, dan dengan sekelebat, bagian dalam tangannya menghantam kepala Jonah.
            Geplak.
            “Aduh!” Jonah mengerang. “Apa-apaan nih!”
            “Aku minta tolong itu sungguh-sungguh, dan kata-kataku juga sungguh-sungguh. Jangan ditertawakan!”
            “Apanya yang jangan ditertawakan? Jelas-jelas kamu ngaku putri raja, apaan putri raja, kamu mimpi? Ini bukan mimpi siang bolong namanya, tapi mimpi malam dijahit!”
            “Jangan pakai perumpamaan yang ngebingungin, sekarang aku minta tolong ke kamu, selamatkan aku. Lalu kita bicarakan hadiahnya.”
            “Hadiah ap...”
            Cendana kembali menggeplak kepala Jonah.
            Plak.
            “Hei!” Seru Jonah sehabis kata-katanya terpotong akibat hantaman itu. Ringan, tapi cukup untuk membuat seorang Jonah kehabisan rasa sabar.
            “Aku nggak bakal memohon. Tapi permintaan ini sungguh-sungguh.” Cendana terlihat berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat, nafasnya menghela berat berkali-kali. Terlihat jelas kalau ia menahan kekesalannya untuk hal yang lain, bukan Jonah. Dan Jonah, hanya menghela nafas.
            “Baiklah...” sahut Jonah. Wajah Cendana langsung berseri-seri. “Aku sudah kehabisan akal untuk ngelewatin malam ini sendirian. Mending kayak gini aja, seru-seruan sedikit.”
            “.......” Cendana tertegun. “Kamu mau bantu?”
            “Iya.”
            “Serius?”
            “Tiga rius.”
            Cendana dan Jonah saling berpandangan sejenak. Cendana terlihat lega sambil bibirnya berbuka sedikit, dahinya mengerut. Jonah terdiam sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tempat lain, menghindari kontak mata.
            “Makasih...” lanjut Cendana. “Kamu orang pertama yang percaya padaku.”
            Jonah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Cendana dalam-dalam. Dunia berhenti sejenak. Sekeliling mereka terasa grayscale, hitam-putih dengan mereka sebagai centernya, berdua berwarna. Panas pengap tak lagi terasa, angin dingin apalagi. Cendana memandang Jonah dalam-dalam dengan mata mungilnya yang manis. Wajahnya menggambarkan kelegaan, seakan akhirnya ia menemukan orang yang bisa mendengarkannya bercerita setelah sekian tahun.
            “Pokoknya, sekarang kita lari dulu.” Jonah menarik tangan Cendana lalu berlari ke dalam kerumunan. Cendana masih diam mengikuti. Grayscale berubah menjadi berwarna kembali, suasana kembali normal. Serasa dunia kembali berbicara pada mereka, langkah semakin dipercepat.
            Jonah membawa Cendana naik ke lantai tiga, masuk ke dalam bioskop. Mereka berhenti di dekat jendela, lalu saling menarik nafas lega.
            “Sepertinya mereka sudah nggak ngejar lagi.” Jonah berkata. Cendana menoleh, lalu tersenyum.
            “Kayaknya, sih.”
            “Senang, ya. Dibawa lari sama orang yang nggak kamu kenal. Dasar anak kecil.”
            “Anak kecil?” Cendana merengut. “Aku ini lebih tua dari kamu!”
            Jonah kaget. Umurnya 22 tahun, berarti anak ini 24? 26? Wajahnya masih muda begitu. Tanpa sadar ia membiarkan mulutnya terbuka lebar. Cendana menutup mulut Jonathan, dan dengan konyolnya kembali menggeplak kepala Jonah dengan keras hingga ia sadar.
            “Whoa! Bentar, bentar, bentar...kamu lebih tua dari aku?” Jonah mengangkat kedua tangannya ke depan badannya sambil memundurkan kepalanya sedikit.
            “Iya.” Cendana mengangguk santai. “kaget kan?”
            Kali ini Jonah yang mengangguk. “24, gitu?”
            “Sedikit lebih tua, tapi 24 juga nggak apa-apa kok.”
            “Udah tante-tante dong.”
            “Eh, sembarangan!”
            Cendana melempar-lemparkan kakinya pelan ke depan sambil tangannya saling bertaut di belakang. Wajahnya terlihat bosan. Tidak lelah, namun bosan. Jonah menghela nafas. Mungkin benaknya, ia bisa melanjutkan lagi permainan ini. Terlepas dari sungguhan atau tidaknya. Tapi semuanya terasa membingungkan.
            Tiba-tiba kedua orang yang mengejar mereka tadi muncul dari kejauhan, dari dalam lift.
            “Itu mereka!” seru salah satunya. Jonah membelalak kaget.
            “Kecebong dugem! Kita kedapetan! Ayo lari!” Jonah menggenggam tangan Cendana lalu menariknya lari bersamanya. Cendana terkejut sedikit, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Jonah menyusul dengan tawa lepasnya. Mereka berdua seakan tidak peduli dengan langkah yang semakin cepat dan nafas yang memacu, mereka terus berlari sambil tersenyum dan tertawa lepas. Ini pertama kalinya, sejak putus dari pacarnya, Jonah tertawa terbahak-bahak.
            “Aku yakin kamu bisa ngerelain dia untuk masa depan yang lebih baik.” Cendana nyeletuk. Jonah meredakan tawanya. Lalu ia tersenyum lebar di kemudian.
            “Iya.” Katanya. Langkahnya semakin jauh, melewati orang-orang di lantai Mall yang licin. Suara kaki mereka terbenam oleh suara mereka yang bercengkerama. Namun hanya suara tawa; hanya senyum dan tawa Jonathan serta Cendana yang bergema pada malam itu. Seakan semuanya membeku, jadi hitam-putih, dan dengan tawa, dua orang menjadi sumbu dunia.
---
            Selang beberapa menit mereka berlari, langkah pun semakin pelan ketika Jonah menyadari bahwa mereka sudah tidak lagi diikuti. Namun tangannya belum mau melepas genggamannya dari Cendana. Cendana hanya terdiam, sedikit canggung.
            “Kayaknya udah lolos deh...” Jonah terengah-engah.
            “Anu...tangannya...” Cendana berucap sambil menunjuk tangan Jonah yang keras menggenggam pergelangan Cendana. Jonah yang menyadarinya, langsung melepas dan jadi canggung sendiri.
            “So, Sori.”
            “Nggak apa-apa, kok...semakin keras gengggaman tangan pria, semakin setia jiwanya.” Cendana tersenyum. Jonah memalingkan pandangan dengan canggungnya dari senyum Cendana. Manisnya.
            “Ki...kita ke sana yuk.” Jonah menunjuk sebuah swalayan buku. Mereka berdua masuk ke dalam dan membaur dengan orang-orang. “Kalau kita nggak ribut, nggak bakal ketahuan. Sembunyi disini aja dulu.”
            Mereka masuk dengan hati-hati dalam rombongan orang yang sedang memeriksa buku-buku terbaru. Dengan perlahan mereka melangkah, menyelip diantara orang-orang. Sesekali tubuh mereka berbentur dengan orang-orang yang lain, yang berkerumun di sekitar mereka. Swalayan ini cukup luas, dan bukunya banyak sekali. Mungkin ada yang bisa dibaca, pikir Jonah.
            “Kamu tahu cerita tentang seorang pengarang yang sakit hatinya?”
            Cendana menggeleng. “Nggak tahu...”
            “Suatu hari, seorang penulis jatuh cinta kepada seorang gadis. Disamping semua perbedaan yang ada, mereka saling membutuhkan.”
            Cendana menyimak. Langkah mereka berdua melambat, namun masih terus maju. Jonah terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Meninggalkan Cendana yang terus menatap punggungnya.
            “...hingga pada suatu hari...” Jonah melanjutkan. “...Sang penulis sadar bahwa selama ini sang gadis tidak pernah mencintainya.”
            Suasana senyap. Suara-suara menjadi beku, selain Jonah yang terus bercerita. Hingga pada akhir cerita, Jonah terdiam. Suara kembali ramai, dan Cendana menatap punggung Jonah yang menariknya lembut melalui kerumunan orang. Dan dengan tenang ia menarik balik tangan Jonah, membuatnya berhenti berjalan.
            “Nggak apa-apa, kok...menurutku sang penulis sudah cukup berkorban meskipun perasaannya nggak pernah terbalas.”
            Jonah senyap. Kepalanya menunduk. Genggaman tangannya makin keras, namun Cendana tetap tersenyum. Di tengah kerumunan, badannya bergetar. Seperti menahan sesuatu yang ingin ia keluarkan tapi ia enggan.
            “Nangis aja, nggak apa-apa.” Cendana berucap. Genggaman tangan Jonah semakin melemah, dan akhirnya terlepas. Cendana bergegas menangkap tangan Jonah dan gantian memegangnya. Ia genggam dengan keras, namun masih terasa lembut. “Meskipun kamu nangis sekeras apapun juga...kamu tetap laki-laki kok.” Jonah menggenggam udara keras-keras. nafasnya berat. Ia menangis, namun tidak ingin dilihat. Cendana tersenyum. Ia lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Jonah, lalu membenamkan wajahnya ke punggung Jonah. “Dunia berubah, namun perasaan tetap sama. Meskipun perasaan mencoba hilang kemanapun...nggak ada tempat yang lebih menyenangkan selain hati.”
            Jonah terdiam. Getaran yang ia rasakan sudah agak terbenam oleh kata-kata yang diucapkan Cendana. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan tenang. Cendana tersenyum lebar dalam benaman wajahnya di punggung Jonah. Seakan tidak mempedulikan sekelilingnya, atau memang mereka yang tidak dipedulikan orang-orang, pelukan itu berlangsung lama...sampai akhirnya Cendana melepas pelukan itu dan mundur beberapa langkah ke belakang. Jonah berbalik dan menemukan Cendana telah berada di tengah kerumunan orang-orang. Badannya yang mungil sesekali tertutup badan orang-orang lewat yang lebih besar darinya.
            “Cendana?” panggil Jonah. Tiba-tiba dua orang berpakaian hitam tadi muncul di belakang Cendana, dari balik kerumunan. “Cendana!” Jonah berlari menyusul. Namun langkahnya terhenti ketika melihat senyuman Cendana. Senyuman lebar yang manis...tanpa rasa menyesal yang entah kenapa meluluhkan langkahnya.
            “Terimakasih untuk hari ini.” Ucap Cendana. “Kamu manusia yang baik.” Jonah masih terdiam. Pikirannya susah mencerna semua ini. Mulutnya terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan di tenggorokan. Cendana memandang ke arah lain, lalu balik memandang Jonah dan kembali, sekali lagi, tersenyum. “jangan berhenti di satu jalan buntu, ya?” ia menambahi. “Pasti di suatu tempat, suatu saat...ada jalan yang bisa kamu lalui dengan tersenyum.” Jonah melegakan ekspresinya. Ia menghela nafas seakan memaklumi semuanya. Semuanya. Ia memandangi Cendana saat ia berkata kata-kata terakhir sebelum ia dan dua orang lainnya menghilang saat kerumunan orang lewat di depan mereka.
            Coba tersenyum, ya?
            Lalu kosong. Suasana ruangan memanas, jadi pengap. Jonah berkeringat. Udara sejuk yang ia rasakan tidak lagi menyentuh kulitnya. Ia memperhatikan kedua belah tangannya, sudah berhenti bergetar. Ia lalu tersenyum, lalu tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang yang lewat di sekitarnya memandanginya ketika melewatinya, seakan mereka sudah sadar setelah lama dihipnotis.
---
            Jonah keluar dari pintu depan mall, sambil memandang langit. Mendung yang tadi sudah menghilang. Langit yang terpapar di depan matanya secerah berlian. berkerlip indah. Memanjakan matanya yang lelah memperhatikan kerumunan.
            “Ternyata nggak jadi hujan, ya?” ia mendengus. Lalu kemudian ia menoleh ke belakang, dan memperhatikan pintu mall. Sudah mulai sepi. Rupanya yang tadi memakan waktu juga. Ia menghembuskan nafasnya dengan ringan lalu memasukkan tangannya ke saku celana kemudian berjalan sambil menggigil. hujan memang tidak jadi turun, tetapi dingin tetap menusuk. Ia berjalan di bawah naungan lampu jalan yang mulai redup, sambil sesekali mendongak ke atas, seakan mencari sesuatu yang tidak ada.
            Kini hanya senyuman yang tersisa dari dirinya malam ini, meninggalkan ingatan akan kejadian tidak masuk akal yang bila diterka makin membuat penasaran. Dalam hatinya ia berterimakasih pada Cendana, putri raja yang datang entah dari mana untuk menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendiri, dan dunia belum berakhir meskipun hatinya hancur lebur. Dan meskipun dengan cara yang tidak mengenakkan, dingin malam yang ia rasakan saat ini terasa manis.
            “Terimakasih, putri.” Bisiknya pelan.
            Sementara itu, lampu-lampu di mall bergantian meredup, lalu gelap.

Sabtu, 24 Maret 2012

OH GOD WHY.

Kemaren, pas malam minggu, gw ngajak keluarga gw ke mall, niatnya mau jalan-jalan.

gw sadar ini adalah hal paling berbahaya yang pernah gw lakukan. lebih berbahaya daripada menjinakkan sebuah bom atom. lebih berbahaya dari pacar yang lagi PMS. lebih berbahaya dari Tomcat.
Bokap gw...belum pernah nonton di bioskop.

bokap gw gak seperti kebanyakan orang, dia nggak peka sama keadaan. dia meskipun rambutnya sudah cabut dari eksistensi kepalanya, dia sangat lugu. kumisnya yang unyu membuatnya jadi lebih mirip orang NTT daripada orang Makassar. dan tingkah lakunya itu, Ya tuhan semata wayang...kayak orang baru datang ke kota, padahal seumur umur tinggalnya di kota. (jedotin pala ke tembok)

bencana ini dimulai dari ketika gw nyaranin keluarga buat mampir ke Palangkaraya Mall, habis makan bareng.

gw : Pah, gimana kalo kita karaokean? mumpung lagi ngumpul gini.
bokap : boleh!
adek gw, nyokap : ayo, boleh tuh bang.
gw : adek nggak usah ikut, dia kan suka makan ujung mic.

adek gw langsung berubah jadi ikan mujair sambil ngutuk-ngutuk pake kimono.

begitu sampai ke mall, gw langsung turun dari mobil, nyariin tempat. begitu dapet, kami langsung masuk ke dalam. tanpa basa basi, karena gw gak mau keluarga gw nyebar. masalahnya si adek terlalu hiper kayak bokapnya, sekali ngeliat barang bagus gak mau brenti diliat.
iya, sodara-sodara. diliat doang. gak dibeli.
dengan takut dan hati-hati, gw bawa keluarga gw ke atas, ke tempat karaoke. sampai akhirnya sadar bahwa tempatnya lagi penuh. fwah. gw kesel bener sih, pas gw tanyain ke kasir, "Mbak, penuh ya?" katanya "Iya penuh mas. Mas sih nggak pesan. penuh deh"
wtf nih kasir sok kenal. bayangin cara ngomongnya kayak cara ngomong cewek-cewek alay di tipi-tipi, "Iyyaahhhh,,,Masssshhh...Sssiihhhhh GGggaaakkkkkhh Peesssaannnnhhh..." bisa gantung diri di pohon lombok gwnya.
karena ternyata suara cewek alay itu lebih berbahaya daripada kuntilanak kesurupan.

dan gak jadi deh karaokeannya. daripada gak seru, gw ngajak keluarga gw nonton THE RAID. ya, benar, sodara-sodara. langkah gw buat bikin malam ini berkesan sama keluarga gw adalah dengan mengajak mereka menonton film bunuh-bunuhan. sungguh tindakan yang tepat sekali, einstein. tepat sekali.
gw beli tiket buat mereka, nah niatnya pengen dapet yang jam 7, karena ini udah jam stengah 7 dan waktunya sebentar jadi bisa pulang dan istirahat. tapi masalahnya...jam segitu studio udah penuh. dengan penuh kerelaan gw beli deh yang jam 21.20. malam. banget. setelah gw selesai antri beli tiketnya dan sadar kalo ini baru jam 7, gw ngerasa bego. gw mau terjun dari lantai 3 tapi nanti cuman dikira cicak lepet. akhirnya gw terjun di arena mandi bola aja deh (ditendang satpam)
dengan setengah kecewa gw datengin nyokap, dan nyodorin tiketnya.

"Lho, jam segini bang?"

"iya mah. dapetnya jam segitu."

"ya udah deh ditunggu aja."

setelah nunggu dengan nista, akhirnya sampai jam 9 malam dan kami langsung masuk ke bioskop, nonton The Raid. seperti yang kita tahu, The Raid adalah sebuah film dengan adegan gore yang banyak. dan gobloknya, gw ajak seluruh keluarga gw nonton itu. jelas aja, pas nonton nyokap gw ngeremas tangan gw sambil tarik nafas dalam-dalam setiap kali ada adegan orang digorok. "Ya ampun, Ya tuhan, Ya tuhan" katanya. gw juga ngomong, oh god why.

mana pas setiap adegan, bokap nanya-nanya macam-macam, kayak;

"Rai, itu kenapa dia ngomong jagain, padahal itu kan orang jahat?"
"Rai, itu kenapa kepalanya bisa kebentur? dia gak ngelawan?"

atau pernyataan absurd seperti; "Rai, Toiletnya harum."

gw diantara pilihan antara ngejawab "Iya pah, mereka memang seperti itu. kodrat mereka memang sudah ditentukan seperti itu oleh tuhan yang maha esa." atau memilih diam sambil ngebayangin Winnie the Pooh ngenyot ganja. Gw pilih pilihan yang kedua, meskipun sama absurdnya dengan pertanyaan bokap gw.
adek gw? diem, tegang sambil ngunyah topi babinya. kasihan anak itu.

pokoknya habis nonton The Raid, nyokap teriak-teriak kesal dalam mobil sambil ngehirup minyak angin. katanya kenapa gw ngajak nonton film bunuh-bunuhan kayak gitu, bikin gak bisa tidur. oh mamah, jangankan bunuh-bunuhan sudah mau pingsan, nanti nonton The Hunger Games bisa teriak-teriak kesurupan dia.

malam itu, gw mikir. gw sadar kalo gw bego bener.

dan gw sadar kalau gw, satu-satunya di keluarga yang suka ngeliat orang disayat-sayat dalam film.

oh god why.

Kamis, 22 Maret 2012

Goodbye March

...dan ketika aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Seakan berkata tanpa suara, bibirnya membuka, melontarkan kata-kata diam yang bermain-main di telingaku. Aku bisa membaca, aku bisa menerka. Bibirnya meski tanpa suara, aku meringis, saat mengetahui arti gerak geriknya.

“Aku benci padamu.” Ucap sang Angsa cantik, tatapannya lirih, sedih.

“Tapi kenapa?” aku menyahut pelan. Seakan tahu apa jawabannya, kepalan tanganku semakin kuat. “Kenapa?”

Aku memang kodok jelek, derajat memaksaku turun ke bawah, menatapi keindahan sang angsa dari sana. Indah, tiap kepakan sayapnya menyentuh pikiran, membuat tiap tetes air mata ini berharga. Hingga kubisikkan pada kalbuku, “Jika tiap tetes ini adalah cintaku padamu, maka akan kudirikan gunung dengannya.”

Sang angsa mulai berkata-kata. Lagi-lagi, bibirnya berucap tanpa celah untuk notasi suara keluar dari kerongkongannya. Pandangannya, sekali lagi, pilu. Memperhatikan tiap gerak-gerikku yang kaku, mengharapkan sesuatu yang sudah tidak mungkin.

Lalu kubaca sekali lagi gerakan bibirnya...

“Aku benci padamu.”

Kata-kata yang sama.

Jantungku sesak.

.........

Dika sang penulis terbangun dari tidur lelapnya, matanya sayu. Pandangannya agak kabur untuk sejenak, menyesuaikan dengan cahaya pagi yang merembes dari sisi-sisi ruangan. Ia kemudian mengangkat kepalanya, dan memperhatikan sekeliling. Oh, iya. Benar juga. Ia lupa kalau dari kemarin ia berada di perpustakaan, mencoba menulis sebuah karya tulis. Ia melirik ke kejauhan, kosong. Terlihat susunan rak buku raksasa di horizon hingga di depannya, lalu lampu-lampu hias tergantung rapi di langit-langit, membentuk busur. Cahaya matahari pagi merembes dari sekat-sekat jendela, membasahi wajahnya yang masih mengantuk. Lalu ia menggerakkan tangannya dan menyenggol sebuah pena yang terjatuh bersamaan dengan kertas-kertas yang tersusun di bawahnya. Ia kelabakan, kemudian berlutut dan memunguti kertas-kertas itu satu per satu. Halaman per halaman.

“Kodok jelek yang menangis.”

Bisiknya, sembari memperhatikan judul naskah yang ia tulis. Font nya agak kabur, mungkin tintanya sedikit tergores waktu mengeprint. Tapi siapa yang peduli.

Kodok Jelek yang Menangis

Karya Dika Surahman, November 2012

Dika tersenyum sejenak, kemudian menggeleng sambil tertawa kecil.

“Menyedihkan.” Gumamnya.

.........

Di depan perpustakaan, seorang wanita paruh baya turun dari dalam mobil timornya yang lusuh, mengambil mantel kain dari bangku belakang mobilnya, lalu berjalan tergopoh-gopoh ke depan pintu perpustakaan. Ia merogoh kantongnya dan membuka pintu depan dengan tergopoh-gopoh pula.

“Dasar menyusahkan saja, orang macam apa yang terkunci di dalam perpustakaan semalaman gara-gara ketiduran?” gerutunya.

Setelah beberapa kali mencoba dari berbagai kunci yang bergantungan di gantungan pintunya, ia berhasil membukanya. Dari dalam perpustakaan langsung meluncur keluar Dika, sambil memegang erat naskahnya. Dan begitu ia menjejakkan kaki diluar, ia kehilangan keseimbangan, dan jatuh terjerembab ke tanah.

“Whoa!”

Naskahnya sekali lagi, bertebaran di tanah. Wanita paruh baya tadi mendecak sambil berkacak pinggang dan mengelus rambutnya yang masih basah.

“Aku tidak tahu apa harus kasihan atau apa padamu, tapi perhatikanlah langkahmu sesekali.” Ujarnya. “aku sampai harus bergegas dari rumah untuk mengeluarkanmu dari sini. Lihat, rambutku masih basah.” ujarnya sambil memperlihatkan pada Dika rambutnya yang belum dikeringkan.

“Iya, Bu Tantri. Saya akan hati-hati untuk nantinya.” Balas Dika.

Bu Tantri adalah seorang kurator museum yang merangkap staf tinggi perpustakaan kota. Dan kebetulan juga adalah sahabat lama ibu Dika yang telah meninggal. Perawakannya agak besar, dengan rambut ikal yang diikat dan topi bulunya yang mencolok. Gabungan baju ham dan daster kesukaannya yang tidak kalah mencolok sering diam-diam menjadi bahan olokan, meskipun wibawanya tidak diragukan.

Dan Dika masih saja merapikan naskahnya yang tersebar-sebar di tanah. Bu Tantri menggeleng-geleng.

“Semenjak ibumu meninggal, kau jadi semakin terobsesi begini dengan cerpen. Apa kata ibumu jika beliau melihat keadaanmu sekarang ini?” ujarnya.

Sembari merapikan naskahnya, Dika hanya menghela nafas.

“Aku menyayanginya. Dia pasti mengerti, kok.”

“Dan beliau menyayangimu, jangan lupa...”

Dika bangkit berdiri setelah berhasil mengumpulkan kertas naskahnya yang tercerai berai, dan kemudian berbalik menghadap bu Tantri, kemudian tersenyum.

“Ibu pernah berkata padaku, seluruh hidup itu impian. Makanya tidak ada hidup yang bermakna pada awalnya. Karena makna harus dicari hingga bisa digenggam erat di kemudian hari.” Ujarnya pelan. Bu Tantri membalas senyumannya dengan senyuman maklum.

“Yah, mau bagaimana lagi, anak Mila tetap anak Mila...”

“Aku permisi dulu, ya bu Tantri.” Potong Dika dengan senyumnya. Bu Tantri hanya bisa membalasnya dengan senyuman balik, seperti tadi dan pandangan berharap. Berharap tidak ada yang akan terjadi pada anak ini. Anak sahabatnya yang ia sayangi.

“—Taksi!” panggil Dika, mengangkat tangannya dan melemparkan jempolnya ke taksi yang akan lewat. Taksi itu berhenti dan ia masuk ke dalamnya. “Ke Tri-voice publishing, pak.” Tegasnya. Sang supir mengangguk, kemudian menginjak gasnya dan taksi pun melaju meninggalkan perpustakaan. Di perjalanan, Dika mengecek naskahnya dengan teliti. Bahaya ‘kan, kalau ada satu saja halaman yang tertinggal. Mungkin enak kalau tinggal mengeprint ulang halaman yang hilang. Tapi di saat-saat seperti ini, hal itu susah dilakukan.

“Waduh, mudah-mudahan pak editor nggak marah, ya...” gumamnya sambil tetap mengecek halaman-halamannya.

Sambil waktu berlalu, supir taksi menyetel lagu lama. Melodinya berdendang di telinga Dika, membuatnya rileks sedikit. Ia menghembuskan nafas pendek, lalu tersenyum ke arah supirnya. Supir taksi itupun tersenyum, seakan membalas senyuman Dika tadi yang mungkin berartikan terimakasih atas musiknya yang menenangkan. Dan memang, musiknya menenangkan. Meskipun liriknya pedih.

I don’t want to set the world on fire

I just want to start a flame in your heart

In my heart I have but one desire

And that one is you, no other will do

.........

Suasana kantor yang kurang menyenangkan. Dika duduk di sofa ruang tunggu, sambil sesekali melirik jam, memikirkan kenapa orang yang ditunggunya belum datang juga. Ia memandang sekeliling, diciumnya aroma pengharum ruangan. AC-nya mati, membuat bau pengharum ruangannya sesak, membuatnya mual. Lalu ia menarik nafas panjang, dan memperhatikan naskahnya yang ia taruh di meja kaca di depannya.

“Alasannya harus diterima, ya...kali ini juga.” Gumamnya pelan. Ia tersenyum sedikit. Lalu ia mengangkat kepalanya dan menatap langit-langit ruang tunggu, rasanya sedikit lega. Ruangan yang tadinya pengap tidak lagi sesak. Ia mengangkat tangannya ke atas, merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu menurunkan tangannya lagi dan membiarkan tubuhnya rileks.

“Yo!” Tiba-tiba seorang pria muncul dari balik pintu di kejauhan. Pria itu mengenakan kemeja kedodoran, perawakannya jangkung, rambutnya lurus tidak disisir, dan menghisap rokok di sela-sela bibirnya. Ia memakai kacamata hitam pekat, sehingga kesan maskulin terlihat menempel jelas pada sosoknya. Ia berjalan perlahan sambil menghisap rokoknya, membuang abunya ke lantai, dan kemudian menghampiri Dika.

“Siang, pak Danu.” Ujar Dika memberi salam. Pak Danu, editornya di kantor penerbitan, tersenyum hangat di tengah sosok maskulinnya.

“Gimana naskahnya, udah fix?”

“Anu...saya mau bicarakan soal fixing naskahnya...itu...bisa ditunda beberapa hari lagi? Saya masih belum dapat ide buat penutupnya...”

Pak Danu menghela nafas. “Sampai kapan kamu mau nahan endingnya? Menurut saya ending bahagia itu cukup ngena, kok.”

“Justru itu, pak...” balas Dika lemah. Pak Danu kemudian duduk dan menyilangkan jemarinya dan ia taruh di bawah dagunya, mendengarkan penjelasan Dika. “...Saya nggak bisa memberikan ending yang terlalu abstrak buat saya...”

“Ending yang abstrak? Bukannya ending bahagia itu...”

“Saya tahu, ending yang bahagia yang kebanyakan disukai orang...tapi...”

“Tapi?”

“Ending yang membohongi diri saya sendiri seperti itu...saya nggak bisa menerimanya...sedikitpun.”

“....”

Pak Danu terdiam sejenak. Matanya menjelajahi setiap ekspresi Dika yang terlihat jelas bersungguh-sungguh. Ia kemudian menghisap rokoknya dan memandang ke arah naskah Dika yang terpampang di depannya.

Kodok Jelek yang Menangis

Karya Dika Surahman, November 2012

Ia terlihat ragu. Namun ketika ia balik menatap ke arah Dika, keraguannya hilang. Dilihatnya kesungguhan di mata anak ini, membuat darahnya tenang. Ia tersenyum.

“Dunia imajinasi itu luas, Dik.” Katanya sambil menghisap rokoknya dan tersenyum. “Saya nggak mau kalau kamu cuma melihat satu sisi saja.”

Dika tersenyum.

“Temui saya kalau kamu sudah menemukan ending yang kamu inginkan.” Ia lalu berdiri dan berniat berjalan kembali ke kantornya. Namun sebelum ia mulai melangkah, ia menoleh ke arah Dika, sambil menghisap rokoknya. “Endingmu tentu nggak akan seindah ending-ending yang orang inginkan, tapi saya yakin kalau kamu yang memutuskan, itu adalah ending terbaik yang ada.”

Dika mengangguk. Senyumnya melebar. “Terimakasih pak!”

.........

Dika melangkah keluar kantor dengan riang. Motivasinya bertambah. Ia yakin akan dapat menemukan ending yang tepat kali ini, ending yang ia inginkan. Ia berhenti sejenak, pandangannya kosong ke depan. Memandangi jalan raya dan mobil dan motor yang berlalu-lalang berkali-kali, membuat pusing. Tapi tidak baginya. Dengan senyum lebarnya, ia menghela nafas dan memandang langit.

“Apa akhirnya sang kodok bisa berhenti menangis, ya?”

Lalu tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang gadis di kejauhan, gadis itu menenteng motornya yang kelihatannya mogok. Sosok gadis itu dia kenal. Sosok lama yang masih tertanam di benaknya.

“Ah, si angsa cantik.” Ujarnya. Ia kemudian berlari menyusuri trotoar, menyeberang jalan, lalu menghampiri gadis itu. “—Hai.” Sapanya. Gadis itu menoleh, dan terperangah.

“Dika?”

“Lama nggak jumpa, ya...Maret.”

.........

Suara kantung plastik yang berisikan naskah Dika yang tergantung di cantolan motor matic milik Maret berbunyi grasak setiap ban motornya yang bocor berguncang akibat jalan aspal yang tidak rata. Sudah beberapa menit sejak Dika menawarkan diri untuk membantu membawakan motornya ke bengkel terdekat.

“Dari mana nyeretnya?” Dika memulai percakapan.

“Dari toko di ujung sana tuh...bocornya disana.” Maret menunjuk ke kejauhan, terlihat toko bertingkat dua, sekitar dua ratus meter di sana.

“oh— Lumayan jauh juga, ya...” Dika menaikkan alisnya. Maret tersenyum.

“Dari mana?” Tanya Maret penasaran.

“Dari penerbit.”

“Ngapain?”

“Bicarain soal buku...”

“Kamu mau nerbitin buku?”

“Iya...haha. keren, ya?”

Maret tertawa kecil. “Nggak nyangka, kamu bisa nerbitin buku.”

“Bisa, dong...” Dika mengrenyutkan dahinya. “Yang namanya manusia kan banyak bakat.” Ia kemudian sedikit kehilangan keseimbangan, lalu kembali ke jalur. Ban motornya semakin kempes.

“Sudah lama, nih...” Maret memandangi Dika sambil tersenyum. “Kamu baik-baik aja?”

“Kalau maksud kamu apa aku sehat-sehat aja...yap, masih sehat dan kuat.”

Maret kembali tertawa kecil. Ia menyembunyikan tawanya dengan menaruh kepalan tangannya di depan mulutnya, sesuatu yang sudah lama tidak dilihat Dika. Dika tersenyum. Sedikit kenangan terbesit di keningnya. Namun kenangan itu membuat senyumnya pudar. Ada sedikit keraguan untuk tersenyum dari hatinya. Dan entah kenapa, hal itu membuat suasana hatinya agak...tertusuk.

“Kamu nggak berubah, ya...” Maret kembali berkata. “Berapa lama, ya...sejak terakhir kali kita jalan bareng kayak gini.”

“Maksud kamu sudah berapa lama sejak terakhir kali kita ngobrol bareng?” Dika sedikit memandangi Maret dan tertawa kecil. Maret juga ikut tertawa sedikit, kembali menutupi senyum indahnya dengan kepalan tangannya. Dan sekali lagi, senyum Dika pun memudar.

Kemudian setelah itu, keduanya terhenyak. Suasana menjadi hening, hanya suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan, sedikit meredakan kakunya suasana.

“Kamu tahu nggak...” tiba-tiba Maret berkata. “Kenangan pahit itu kalau dikumpulkan banyak-banyak bisa jadi kenangan manis, lho...”

Dika menatap Maret yang memandang ke depan, kosong. Lalu ia menundukkan kepalanya, serasa ragu menjawab. Dahinya mengerut. Mencoba melakukan apa yang Maret bilang, mengumpulkan kenangan pahitnya dulu. Lalu kemudian kerutan itu hilang.

“Mungkin juga...” balasnya ringan. “...Tapi kalau rela itu masalah lain.”

Hening.

“....”

Beberapa saat beranjak, mereka berdua sampai ke sebuah bengkel. Dika menggiring motor Maret ke dalam dan kemudian keluar, mendapati Maret menunggunya di pintu luar.

“Dika, aku...” Maret terlihat ragu. “Aku...”

“Jangan dilanjutin.” Dika memotong. “Nggak apa-apa kok.” Maret terlihat parau. “Aku yang salah, kok...dari awalnya, memang aku yang salah...”

“Tapi Dik...”

“Maret...” potong Dika sekali lagi. “Aku yang salah.” Dika tersenyum sehabisnya, menatap dalam ke mata Maret. Maret terlihat ragu, lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia terlihat sedih. Entah apa yang ingin dikatakannya. Dan entah Dika sudah tahu atau tidak mau tahu.

Dika kemudian mengangkat plastik berisikan naskahnya ke depan, dan memperlihatkannya ke Maret.

“Ini cerita kita. Semua yang kita alami selama ini, ada disini.” Ujarnya. Maret memandangi naskahnya dengan tatapan ragu. “Aku belum tahu endingnya apa. Dan aku tahu aku nggak berhak memutuskan seenaknya akhir dari cerita ini. Karena ini cerita kita. Kalau kamu mau...”

“Aku nggak tahu, Dik...” potong Maret. “...Aku nggak tahu sama sekali endingnya harus gimana...”

Raut wajah Dika berubah menyedihkan. Ia tahu bahwa tidak semudah itu meminta Maret untuk menentukan akhirnya bersama-sama dengannya, namun ini yang terakhir.

“Ini...” balas Dika. “Ini yang terakhir...” ia maju beberapa langkah ke depan Maret, Maret juga mulai berani menatap kembali Dika. “Ini yang terakhir.”

“Setelah semua yang kita lalui?”

“Iya.”

Bola mata Maret mulai berkaca-kaca. Ia menarik nafas panjang dan tangannya menggenggam keras. Perlahan-lahan, mulutnya membuka, namun tidak ada suara yang keluar. Ia menghadapkan wajahnya tepat ke pandangan Dika, dan berkata tanpa suara. Dika mencoba menebak gerakan mulutnya, dan kemudian menghela nafas sedih.

Aku Benci Padamu.

Dika terdiam. Ia lalu tersenyum miris, dan tangannya menggenggam keras.

“Jadi begitu, ya...” gumamnya setelah Maret berhenti berucap. “Ending yang bagus.” Maret menghela nafas.

“Ending yang bagus? Kena...”

“Ending bagus untukmu...apapun itu, Maret...” Dika memotong kata-kata Maret dengan cepat dan bernada agak tinggi. “...Adalah ending terbaik untukku.”

Maret terdiam. Nafasnya mulai tak beraturan. Terlihat ia sudah hampir meledak dalam tangis. Dika berbalik badan.

“Terimakasih untuk selama ini.” Ujarnya. “Aku sayang kamu.” Setelah berucap itu, Dika melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Maret menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan mulai menangis keras. Dika inginnya pura-pura tidak mendengar, ia mulai mempercepat langkahnya, namun suara isak tangis itu semakin terdengar meski semakin jauh. Dengan perasaan kacau, Dika memacu langkahnya.

Semakin cepat...

Semakin cepat...

Berlari...

Berlari!

Berlari!!

“UWAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH!!!!!”

Dika berteriak sekencang-kencangnya sambil berlari, meninggalkan Maret yang menangis tersedu-sedu. Hati keduanya hancur lebur, meninggalkan bekas kenangan yang tersayat di dinding hati. Selamanya. Dika memacu larinya semakin kencang, semakin kencang, sampai ia tak lagi merasakan ototnya bergerak.

Sampai akhirnya ia berhenti berlari, nafasnya terengah-engah, ia menundukkan wajahnya, sembari mengusap matanya, ia kira matanya perih karena debu, namun ia sadar bahwa tidak mungkin debu dapat membuat air matanya mengalir deras seperti ini.

Perih.

.........

I’ve lost all ambition for worldly acclaim

I just want to be the one you love

And with your admission that you feel the same

I'll have reached the goal I'm dreaming of

Believe me

.........

Dan disini Dika, di dalam imajinasinya sendiri, duduk di dalam kelas di kampusnya. Dalam hening jiwanya, ia beragumen tajam. Antara perasaan tidak rela, menghujat diri sendiri, menangis, berdusta dan berteriak, nafasnya lelah miris.

Dipandangnya langit-langit, kipas angin tidak menyala. Mati lampu rupanya, ia sampai tidak sadar. Kelas ini kotor, kertas-kertas berserakan. Kipas angin tersetel pada angka 1 full, jika menyala maka terbanglah kertas-kertas yang berserakan itu. Ia menghela nafas, dan membuka tasnya, lalu mengeluarkan buku catatan warna birunya. Ia membukanya dan membaca isinya dengan seksama. Sesekali ia tertawa kecil, memperhatikan coret-coretannya yang dulu. Coretan orang awam, benaknya. Coretan tentang cinta dan harapan. Coretan orang lugu yang belum merasa dikhianati. Coretan orang yang belum merasa sakit hati. Sekali lagi, ia membuka lembar demi lembar, membaca pelahan-lahan puisi-puisi lamanya dalam hati, satu-persatu. Sesekali ia tertawa, menyadari betapa lugunya ia dulu. Sesekali ia meringis, menyadari bahwa keluguan itu adalah satu-satunya hal yang ia rindukan saat ini.

Saat dimana semuanya tidak perlu menjadi perih.

Saat dimana ia bisa tersenyum tanpa harus berbohong.

Ia kemudian bersenandung kecil, menandungkan lagu miris.

“Hmmm, Hmmmm Hm Hmmm, Hmmm....”

Nada lama.

I don’t want to set the world on fire.

Tiba-tiba listrik menyala, kipas angin yang tadinya mati serentak menyala, mengibaskan angin sejuk ke seluruh ruangan, dimana hanya ada Dika disitu, memandangi jauh-jauh lubuk hatinya.

Kertas-kertas mulai bertebaran tertiup angin, debu-debu sedikit tergeser kesana-kemari. Dika yang tersadar bereaksi lambat. Ia memperhatikan sekelilingnya, lalu menutup matanya. Terasa timpaan angin yang begitu lembut, membawanya agak naik ke permukaan mimpinya.

...andai semuanya mimpi, ya? Pikirnya.

Ia membuka matanya perlahan. Disadarinya semua ini kenyataan.

“Ah, sial.” Gumamnya pelan.

.........

Pak Danu menganggukkan kepalanya perlahan sembari menghisap rokok yang perlahan semakin memendek. Matanya membaca tiap huruf per huruf yang tertera di naskah itu. Sesekali ia mengangguk lagi, menghisap rokoknya, namun matanya tidak pernah lepas dari naskahnya. Tiap kata, tiap kalimat. Di depannya duduk Dika, menyilangkan jari-jarinya, berharap hasil positif. Pak Danu mengangguk untuk kesekian kalinya. Abu rokoknya terjatuh. Namun itu sama sekali tidak ia perhatikan. Sekali ini, dirinya fokus.

Ruangan kantor editorial terasa sepi. Sudah jam 5, dan sejak jam 3 tadi pak Danu terus membaca naskah Dika tanpa henti. Dika pun tanpa bosan menunggunya selesai. Kipas angin besar yang berputar di langit-langit terus berbunyi, padahal bunyinya kecil, tidak bisa ditangkap oleh pendengaran diwaktu bising. Suasana sepi sekali. Sinar matahari sore merembes masuk lewat jendela kantor. Kertas-kertas naskah dan sisa pekerjaan editorial berserakan rapi di atas meja, beserta satu cangkir kosong bekas kopi tadi siang. Sinar matahari sore membuat bayangan benda-benda itu menjadi pekat di dinding. Namun sisi yang diteranginya, berkilau indah.

“Jadi, dengan ini, berarti...” pak Danu memulai pembicaraan setelah kelihatannya selesai membaca dan menaruh naskahnya di meja. “...Kamu sudah temukan endingnya?” kemudian ia menghisap rokok yang sudah pendek. Dihembuskannya asap terakhir, lalu dipandangnya Dika dalam-dalam. “Ending yang kamu inginkan?”

Dika mengangguk. “Ending yang menyakitkan, tapi...terkadang happy ending itu tidak harus membuat karakter utamanya bahagia, kan.”

“Sang kodok meninggalkan Maret sang Angsa cantik dengan sengaja, lalu kembali menangisi dirinya sendiri tiap malam, tanpa March mengetahui tujuan sebenarnya dari tindakan kejam sang kodok...” pak Danu mereview. “Ini ending yang kamu inginkan.”

Dika mengangguk lagi. “Iya...” balasnya. “Ini ending yang terbaik.” Ia meraih ke naskahnya yang agak tersusun berantakan, lalu ia susun baik-baik hingga rapi, dan kemudian menaruhnya lagi ke meja dan menatap dalam-dalam pak Danu. “Karena bagi sang kodok...kebahagiaan sang Angsa adalah kebahagiaannya.”

“Mungkin itu ending yang terbaik,” balas pak Danu. “Sang kodok...berkorban demi masa depan sang Angsa yang tidak mungkin ia dapatkan.”

Dika tersenyum. “Karena kodok mencintai Angsa. Itu saja.”

Pak Danu terdiam. Rokoknya habis. Ia mematikan rokoknya ke asbak, dan kemudian menghela nafas panjang, seakan sudah menghabiskan waktunya untuk mendengarkan cerita sedih yang berharga. Lalu ia berdiri, dan mengambil sekotak rokok dari saku bajunya.

“Kalau begitu, sampai disini saja berarti meeting kita, ya? Ending yang tepat untuk ceritamu.” Ia meregangkan badannya, lalu berniat mengambil rokoknya. Namun ia tertegun. Ia pandang rokoknya, lalu kemudian seakan ragu, ia menutup kotak rokoknya dan tertawa. “Mungkin aku harus berhenti merokok, ya...”

Dika tersenyum membalasnya. “Mungkin juga.”

“Kalau begitu, sampai nanti. Nanti saya kabari soal percetakannya.” Lalu pak Danu berbalik jalan, melangkah pelan ke pintu, dan berhenti sejenak. Ia perhatikan lagi kotak rokoknya, dan tiba-tiba membuangnya ke bak sampah yang ada di sebelah pintu bagian bawah.

“Pak...” panggil Dika ragu.

“Dik...” pak Danu berbicara tanpa menoleh sedikitpun. “Kamu harus bahagia, ya...”

Dika tersenyum lebar. “Mudah-mudahan.”

Lalu suara pintu ditutup menghempaskan keheningan. Pak Danu telah pergi, sekarang hanya Dika yang tertinggal di ruangan itu, menanti senja, sendirian. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian ia lepaskan. Tarik, tiup. Tarik, tiup.

“Selamat tinggal, Maret.”

Suara hujan perlahan mulai berisik, membasahi genteng kantor, membuat keributan di suasananya. Menandakan musim kering sudah selesai. Selamat datang, April.

Semoga di cerita yang baru...senyumku bisa lebih jujur.

.........
...Dan dalam seruling malam, Kodok menangis keras, melemparkan amarahnya ke dalam danau, sekali lagi. Berkaca atas kejelekannya, sekali lagi. Meratap atas ketidak sanggupannya menjadi sempurna bagi sang bangau, sekali lagi.

Ia rela, namun hatinya merengek ke rembulan. Ia menawarkan jiwanya pada angin, menderu berkali-kali dimana-mana, menyeruak ke seluruh danau. Dan pada sesaat, ia bertaruh pada bayang-bayang di otaknya, bahwa meskipun ia tersenyum, hatinya tak rela. Ia menangis sekali lagi, mencoba merelakan, meringankan sakit hatinya yang menusuk jantung,

“Aku akan mencintaimu dalam mimpi.”

-The end